Minggu, 07 Mei 2017

PANDANGAN MUHAMMADIYAH TERHADAP FIRQOH, MADZHAB, TASAWUF, DAN FILSAFAT

Assalamualaikum Wr. Wb
Terimakasih udah mempir ke blog saya :) Edisi kali ini saya share sesuatu yang bermanfaat banget nih. Udah lama pengen nge-post, cuma selalu ga sempet. Ini adalah makalah pertama saya waktu SMA. Jadi cukup berkesan sih karena harus bolak balik perpustakaan daerah dan perpustakaan Universitas Muhammadiyah Metro kala itu, revisi berkali-kali, akhirnya makalah ini tercipta dan saya bisa lulus mata pelajaran Kemuhammadiyahan dengan baik. Nah kali ini saatnya saya share supaya teman-teman sekalian dapat informasi dan bisa mengambil manfaatnya..
Kritik dan saran sangat dibutuhkan, enjoy it !




PANDANGAN MUHAMMADIYAH TERHADAP FIRQOH, MADZHAB, TASAWUF, DAN FILSAFAT



MAKALAH
Diajukan sebagai salah satu syarat kelulusan
Mata Pelajaran Pendidikan Kemuhammadiyahan II



 Oleh:
                                              Annisa Nurul Af’idah
Ardianing Tyas Tami






JURUSAN ILMU PENGETAHUAN ALAM (IPA 2)
SMA MUHAMMADIYAH 1 METRO
2014 M/1435 H


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur atas kehadirat Allah Swt yang telah memberikan kemampuan bagi kami untuk menyusun makalah kemuhammadiyahan tentang “Pandangan Muhammadiyah Terhadap Firqoh, Madzhab, Tasawuf dan Filsafat” dengan baik.
Makalah ini kami susun dengan sungguh-sungguh guna memenuhi salah satu tugas KMD 2 serta untuk menambah referensi kami sebagai pelajar sehingga lebih memahami masalah Firqoh, Madzhab, Tasawuf, dan Filsafat, serta bagaimana Muhammadiyah menanggapinya.
Semoga karya tulis ini dapat memberikan kontribusi positif dan bermakna, dan mudah-mudahan dapat memberikan wawasan yang lebih luas terhadap Organisasi dan berbagai permasalahan diatas.
Terimakasih kami haturkan kepada semua pihak yang telah membantu penyusunan makalah ini. Dan hanya kepada Allah Swt kami mengharap ridho-Nya.


                                                                                            Metro, 20 Februari 2014


         Penyusun



DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii

BAB  I     PENDAHULUAN ................................................................................. 1
A.    Latar Belakang ................................................................................. 1
B.     Perumusan Masalah .......................................................................... 2
C.     Tujuan ............................................................................................... 2

BAB  II   PEMBAHASAN .................................................................................... 3
A.    Pengertian Firqah, Madzhab, Tassawuf, dan Filsafat ...................... 3
a.      Pengertian Firqah ........................................................................ 3
b.     Pengertian Madzhab ................................................................... 6
c.      Pengertian Tasawuf .................................................................... 8
d.     Pengertian Filsafat ...................................................................... 8
B.     Pandangan Muhammadiyah Terhadap Firqah, Madzhab, Tassawuf, dan Filsafat
a.      Pandangan Muhammadiyah terhadap Firqah ............................. 9
b.     Pandangan Muhammadiyah terhadap Madzhab ...................... 10
c.      Pandangan Muhammadiyah terhadap Tasawuf ........................ 13
d.     Pandangan Muhammadiyah terhadap Filsafat ......................... 14

BAB  III PENUTUP ............................................................................................ 16
A.    Kesimpulan ..................................................................................... 16
B.     Saran ............................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA


               BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Masa depan adalah sebuah kurun waktu yang penuh tantangan. Kamajuan iptek akan menyebabkan kehidupan manusia menghadapi era globalisasi. Perubahan masyarakat pada era tersebut akan semakin kompleks, rumit, dahsyat dan mau tidak mau bersifat multidimensional. Muhammadiyah akan menghadapi tantangan multidimensional yang meliputi hampir semua bidang kehidupan yaitu politik, ekonomi, sosial, budaya dan keagamaan. Diantara tantangan yang akan dihadapi adalah berupa kemiskinan, keterbelakangan, rendahnya mutu SDM, kemerosotan akhlak, munculnya berbagai aliran dan paham  keagamaan.
Kemunculan berbagai aliran, paham keagamaan, filsafat-filsafat, serta tasawuf tersebut merupakan bagian fenomena yang harus dihadapi Muhammadiyah. Fenomena tersebut sangat mempengaruhi dimensi dakwah Muhammadiyah yang menyatakan sebagai gerakan Islam, dakwah dan tajdid atau pemurnian ajaran Islam. Adanya macam-macam aliran seperti Syiah dan Sunni maupun 4 iman madzhab besar memberi kontribusi terhadap perkembangan-perkembangan baru. Baik amaliyah, sikap maupun pemikiran umat termasuk di kalangan warga Muhammadiyah. Menilik hal tersebut mau tidak mau Muhammadiyah sebagai persyarikatan akan memberikan pemikiran, pandangan atau bahkan fatwa ataupun pertimbangan, bimbingan dan sikap terhadap aliran dan paham tersebut.
Bagaimanakah sikap Muhammadiyah terhadap aliran dan madzhab, berhubungan dengan penegasan paham Islam dalam Muhammadiyah itu sendiri. Tentang pikiran dan pandangan terhadap paham dan aliran, pemikiran yang berkembang di lingkungan Muhammadiyah adalah lazim dikenal dengan Masalah Lima atau “Masail Al Khamsah”.


 Kelima masalah tersebut menegaskan mengenai hakikat pengertian agama (Islam atau Al Din), pengertian dunia (Al Dunya), pengertian ibadah (Al Ibadah), pengertian sabilillah dan pengertian qiyas (Al Qiyas). Penegasan rumusan itu terus berkembang hingga sekarang dan telah mengalami berbagai penyempurnaan oleh Majelis Tarjih.  

B.       Rumusan Masalah
a)    Apa pengertian:
             - Firqah
             - Madzhab
             - Tasawuf
             - Filsafat
        b) Bagaimana pandangan Muhammadiyah terhadap Firqah, Madzhab, Tasawuf, dan Filsafat

C.      Tujuan Pembahasan
        a)   Mengetahui pengertian Firqah, Madzhab,Tasawuf, dan Filsafat.
 b) Mengetahui pandangan Muhammadiyah terhadap Firqah, Madzhab, Tasawuf, dan Filsafat.













BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Firqoh, Madzhab, Tasawuf, dan Filsafat
1.    Pengertian Firqoh
Firqoh adalah perbedaan pendapat di kalangan umat islam yang disebabkan karena masalah-masalah yang berhubungan dengan keyakinan atau aqidah. Macam-macam firqoh :
a)    Firqoh Syiah
Yakni pengikut dan pembantu setia Ali bin Abi Tholib, serta ahli bait Rosululloh, mencintai keturunan nabi Muhammad SAW dan mentaati pemimpin-pemimpin yang diangkat dari keturunannya. Menurut Abu Zahrah dalam kitab madzhibul Islamiyah, Syiah adalah aliran politik dalam Islam yang paling tua, lahir pada pemerintahan Ustman bin Affan dan tumbuh menjadi besar pada masa pemerintah Ali bin Abi Tholib.
Firqoh Syi’ah muncul setelah Rosululloh wafat. Orang pertama yang memunculkan adalah tokoh Yahudi yang mengaku beragama Islam yang bernama Abdullah bin Saba’. Beliau menampakkan kecintaan yang berlebihan kepada Ali bin Abi Tholib dan menyebarkan isu bahwa yang berhak menjadi kholifah setelah nabi Muhammad SAW meninggal hanyalah Ali. Dia juga menyebar fitnah bahwa Abu Bakar Siddiq, Umar bin Khottob dan Ustman bin Affan adalah orang yang  berdosa besar, karena telah merampas hak Ali bin Abi Tholib menjadi kholifah pengganti Rosululloh SAW, pengikut paham dan pendapat Abdulloh bin Saba’ akhirnya mengelompok dalam satu aliran yang terkenal dengan sebutan Firqoh Syi’ah.[1]




a)     Firqoh Khawarij
Khawarij berasal dari kata kharaj yang artinya keluar, yang berarti keluar dari pasukan pendukung Ali bin Abi Tholib karena kecewa kepada Ali bin Abi Tholib. Mereka menganggap Ali telah membuat keputusan yang salah dalam perang siffin, yaitu telah berani mengambil hukum dari keputusan yang ditetapkan oleh manusia. Hal tersebut telah ditetapkan dalam QS. Al-Maidah : 44
!4 `tBur óO©9 Oä3øts !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbrãÏÿ»s3ø9$# ÇÍÍÈ  
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS: Al-Maidah Ayat: 44)

b)   Firqoh Murji’ah
Murji’ah berasal dari kata Arja’a yang artinya menunda atau memberi pengharapan. Firqoh tersebut timbul sebagai reaksi terhadap kaum Khawarij yang mengatakan bahwa orang islam yang berdosa besar menjadi kafir, menurut Murji’ah pelaku dosa besar tidak menjadi kafir tetapi tetap mukmin persoalan dosa besar yang dilakukannya diserahkan kepada Allah di hari pembalasan kelak.

c)     Firqoh mu’tazilah
 Firqoh ini muncul karena perbedaan pendapat antara seorang tokoh sufi dari basrah bernama Hasan Al Basri dengan muridnya Washil bin Atha’ bersama temannya ‘amr bin ubaid, tentang orang yang melakukan dosa besar.
Ajaran-ajaran pokok dari mu’tazilah adalah :
1.    Orang islam yang melakukan dosa besar tidak mukmin   dan juga tidak kafir tetapi berbeda diantara keduanya (Al Minzilatu Bainal Manzilatani)
2.    Allah tidak mempunyai sifat, karena Allah maha suci. Yang memiliki sifat adalah makhluk (At-tauhid)
3.    Allah maha adil, sehingga Allah  tidak mungkin menghendaki manusia melakukan perbuatan yang bertentangan atau menyalahi perintahnya. Manusia sendirilah yang menentukan atau mewujudkan perbuatannya. (Al adl)
4.    Allah berjanji membalas atau memberi pahala kepada manusia yang berbuat baik dan mengancam manusia yang berbuat kejahatan. (Al Wa’ad Wa Waid)
5.    Perintah berbuat baik larangan berbuat jahat (Al Amru Bil Ma’ruf Wa Nahyu Anil Munkar).

d)   Firqoh Qadariyah dan Jabaniyah
Firqoh ini dipelopori oleh Ma’bad Al-Juhani dan Ghailan Al-Dimasyqi, pada periode khalifah Umar bin Abdul Aziz. Menurut Qadariyah manusia melakukan aktifitasnya karena dorongan kekuatan (qudrah) dari dirinya sendiri. Dengan kata lain manusia memiliki kemerdekaan dan kebebasan untuk menentukan perbuatannya sendiri.
Ajaran ini terkenal dengan istilah free will and free act. Sedangkan jabariyah dipelopori oleh Al-Ja’ad bin Dirham dan Jahm bin Shafwan. Menurut mereka perbuatan manusia diciptakan Tuhan dalam diri manusia. Manusia tidak mempunyai daya atau kekuatan untuk mewujudkan perbuatannya, manusia ibarat wayang yang tidak dapat bergerak kalau tidak digerakkan oleh dalang.

e)     Firqoh Ahlus Sunnah Wal Jamaah
Pendirinya adalah Abu Al Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ary, lahir di Basrah. Sejak kecil ia dididik paham Mu’tazilah dibawah asuhan Ali Al-Jubbai. Sampai usia 40 tahun Al-Asy’ary masih sebagai pengikut mu’tazilah dan akan memberantas ajaran yang salah dan dianggapnya lemah.



Pendapat dan ajarannya yaitu:
-       Tuhan mempunyai sifat, dan mengetahui dengan sifatnya yaitu maha Mengetahui. Sifat Tuhan berbeda dengan makhluk-Nya.
-       Al-Qur’an ialah kalamullah bersifat qadim, sedangkan huruf dan bacaan ialah suatu yang baru (jadid).
-       Manusia mampu menentukan perbuatan sendiri, tetapi Allah berhak memberi petunjuk pada hamba yang dikehendaki-Nya.

f)    Firqoh Ahmadiyah
Firqoh ahmadiyah muncul pada abad 19/ tahun 1888 M, disusun qadian, Punjab India. Pendirinya Mirza Ghulam Ahmad. Nama Ahmadiyah diambil dari nama belakang pendirinya yaitu Ahmad dan iyah yang berarti pengikut Ahmad.
Ada pendapat mengatakan bahwa nama diambil dari salah satu Rasulullah yang terdapat pada surat Ash Shafaat : 6, yaitu Ahmad.
2.    Pengertian Madzhab
Madzhab adalah perbedaan pendapat di kalangan umat Islam yang disebabkan karena masalah-masalah yang berhubungan dengan furu’iyah (diluar aqidah), atau masalah-masalah ubudiyah.
Macam-macam Madzhab :
a)    Madzhab Hanafi
Dinisbahkan kepada imam Abu Hanifah An-Na’mun Ibnu Tsabit Al Kufi (80-150H). Dalam pendapat hukumnya Abu Hanifah dipengaruhi oleh perkembangan hukum yang terjadi di Kufah. Kufah adalah kota yang jauh dari Madinah sehingga sunnah nabi tidak banyak dikenal waktu itu. Sehingga beliau sangat hati-hati menggunakan sunnah dalam pendapat hukumnya, beliau menggunakan sunnah yang betul-betul orisinil atau sahih sehingga dikenal sebagai Ahl-Ray (memutuskan hukum berdasarkan pada akal).[2]


b)   Madzhab Maliki
Dinisbahkan kepada imam Malik bin An-Nash dari Madinah (93-179 H). Madinah adalah kota nabi dan banyak sekali Sunnah. Nenek dan paman serta dirinya adalah perawi Hadist, sehingga pemikiran hukumnya banyak dipengaruhi oleh sunnah nabi dan sahabat. Kalau dalam memutuskan hukum tidak memperoleh dasar hukum dari Al-quran dan Sunnah, beliau menggunakan Qiyas dan Al-Masalih Al-Mursalah (maslahat umum).
Kitab karangan Imam Malik yang terkenal adalah Al-Muwatta’ berisi hadist dan fiqih.

c)    Madzhab Syafi’i
Dinisbahkan kepada Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi’i, lahir di Gazza berasal dari suku bangsa Quraisy (150-204 H). Dalam pemikiran hukumnya Asy Syafi’i berpegang pada lima sumber, yaitu Al-Quran, Sunnah nabi, Ijma atau Konsensus sahabat yang tidak terdapat perselisihan didalamnya, pendapat sahabat yang terdapat perselisihan didalamnya serta Qiyas.

d)   Madzhab Hambali
Dinisbahkan kepada Imam Ahmad bin Hambal lahir di Baghdad dari keturunan Arab (164-241 H). Dalam pemikiran hukumnya beliau berperang kepada lima sumber, yakni : Al-quran dan Sunnah.  Pendapat sahabat yang tidak mendapat tentangan dari sahabat lainnya, pendapat seseorang atau beberapa sahabat yang sesuai dengan Al-quran dan Sunnah, serta Qiyas. Kitab karangannya adalah Al-Musnad, berisi 40.000 hadist.





3.    Pengertian Tasawuf
Tasawuf dalam pengertian umum berarti kecenderungan mistisme universal yang ada sejak dahulu kala, berasaskan sikap zuhud terhadap keduniaan (asketisme), dan bertujuan membangun hubungan (ittishal) al-mala’ al-a’la yang merupakan sumber kebaikan, emanasi, dan ilumunasi.
Dengan pengertian ini, tasawuf bukan monopoli umat tertentu, kebudayaan tertentu, agama tertentu maupun aliran filsafat tertentu. Ia hadir di tengah masyarakat Yunani Kuno dalam filsafat Mani dan Zaroaster, sedangkan di India mistisme terkandung dalam ajaran Budhisme, Brahma, dan Kitab Weda.
 Yudaisme dan Kristen juga mengenal tasawuf (mistisme), begitu pula islam. Masing-masing memliki karakter khas yang membedakannya dengan yang lain. Jika menelaah kitab-kitab tasawuf baik klasik maupun modern tampaknya upaya pendefinisian tasawuf, secara jami’ mani’ memang sangat sulit, sebab pegiat tasawuf (kaum sufi) merupakan empu-empu Dzauq dan perasaan sehingga definisi mereka mengenai tasawuf pun bermacam-macam sesuai dengan perilaku dan status spiritual yang dominan dalam diri mereka, seperti tawakkal cinta kasih, dan rambu-rambu spiritual lainya yang menjadi medium pengantar kehadirat Tuhan semesta alam.[3]

4.    Pengertian Filsafat
Kata filsafat dalam bahasa Indonesa memliki padanan kata philosophia (latin), philosophy (inggris), philosophic (jerman, belanda, prancis), falsafah (arab). Semua istilah itu bersumber pada istilah bahasa yunani philosophia. Istilah tersebut dari philein yang berarti “mencintai”, sedangkan philos yang berarti “teman, kawan, sahabat”. Selanjutnya istilah sophos yg berarti “bijaksana”, sedangkan sophia yang berarti “kebijaksanaan”.[4]
Ada dua arti secara etimologis dari filsafat yang sedikit berbeda. Pertama, apabila istilah filsafat mengacu pada asal kata “philein” dan “sophos”, maka artinya mencintai hal-hal yang bersifat bijaksana (bijaksana sebagai kata sifat). Kedua, apabila filsafat mengacu pada asal kata “philos” dan Sophia, maka artinya adalah teman, kawan, sahabat bijksana (kebijaksanaan sebagai kata benda).
Dilihat dari pengertian praktisnya, filsafat berarti alam pemikiran atau alam berfikir. Berfilsafat artinya berfikir. Namun tidak semua berfikir berarti berfilsafat. Berfilsafat adalah berfikir secara mendalam dan sungguh-sungguh.
Sebuah semboyan yang mengatakan bahwa : setiap manusia adalah filsuf. Semboyan ini benar juga, sebab semua manusia berfikir. Akan tetapi, secara umum, semboyan itu tidak benar. Sebab, tidak semua manusia yang berfikir adalah filsuf. Filsuf hanyalah orang-orang yang memikirkan hakikat segala sesuatu dengan sungguh-sungguh dan mendalam.
Tegasnya, filsafat adalah hasil akal seorang manusia yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Dengan kata lain : filsafat adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh, hakikat kebenaran segala sesuatu.

A.      Pandangan Muhammadiyah Terhadap Firqoh, Madzhab, Tasawuf, dan Filsafat
a.    Pandangan Muhammadiyah terhadap Firqoh
Muhammadiyah sejak awal tertantang dengan praktik pemahaman dan pengamalan agama Islam oleh masyarakat yang kurang sesuai dengan sumbernya yaitu Al Quran dan Hadits. Adanya sikap taqlid para penganut aliran atau paham keagamaan yang lain tentu bertentangan dengan gerakan tajdid. Dalam hal ini Muhammadiyah selalu konsisten terhadap Al Quran dan Hadits.

Secara umum Muhammadiyah tidak menyatakan diri sebagai penganut aliran apa pun.  Tidak  menyatakan sebagai jamaah ahlus sunnah wal jamaah (Sunny), golongan Syiah, khawarij ataupun yang lain.
Muhammadiyah sejak berdirinya adalah gerakan pembaharuan Islam (Tajdid). Muhammadiyah berusaha melaksanakan agama hanya bersumber pada Al-Qur’an dan Al-hadits.[5]

b.   Pandangan Muhammadiyah tehadap Madzhab
Dalam bidang fiqih, Muhammadiyah memandang bahwa semangat untuk kembali pada al-Qur’an dan Hadits berarti umat Islam harus merujuk pada kedua sumber hukum Islam tersebut secara langsung.
Ini berarti rumusan-rumusan madzhab fiqih yang ada dalam dunia Islam hanya relevan untuk masanya saja. Sedangkan saat ini, umat Islam harus merujuk langsung pada al-Qur’an dan Hadits dalam menyelesaikan suatu problem hukum. Jika perbedaan antar-madzhab teologi menimbulkan sikap permusuhan dan perpecahan, saling mengkafirkan dan sebagainya, maka perbedaan madzhab dalam fiqih hampir tidak terdapat bukti kafir-mengkafirkan di antara mereka. Perkembangan keilmuan dan pemikiran yang “mapan” tersebut mengakibatkan wajah Islam kurang dinamis, sehingga mengerucut pada suatu bentuk stagnasi dan kemunduran.
        Munculnya madzhab-madzhab fiqih menyebabkan kecenderungan terhadap dua sumber utama (al-Qur’an dan Hadits) kurang mendapatkan perhatian. Hal ini disebabkan oleh karena umat Islam hanya berhenti pada keputusan-keputusan yang diambil para imam madzhab, tanpa menggali sendiri dari al-Qur’an maupun Hadits.[6]


Kondisi taklid yang berlarut-larut tersebut menyebabkan umat Islam mengalami kemunduran dalam berbagai bidang. Maka Allah berfirman:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ  
Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar mengimani Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.  (Q.S Annisa:59)

Dari ayat di atas telah jelas bahwa Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid memilih untuk tidak bermadzhab. Bagi Muhammadiyah, usaha untuk “kembali kepada al-Qur’an dan Hadits” tidak perlu terkungkung oleh pemilihan madzhab tertentu dalam menentukan metode ijtihadnya. Dengan tanpa madzhab, Muhammadiyah dapat lebih bebas mengembangkan pikiran tanpa ada kendala psikologis untuk menerjang ajaran madzhab.
Bahkan Muhammadiyah tidak perlu berobsesi untuk menyatakan diri sebagai Ahlussunnah Wal Jama’ah, sekalipun jelas konstitusi organisasi dan penafsirannya menyebutkan dasar-dasar teologi yang tidak bertentangan dengan inti ajaran Ahlussunnah pada abad pertengahan. Muhammadiyah berusaha untuk merumuskan hukum-hukum Islam yang berorientasi langsung kepada al-Qur’an dan Sunnah, sehingga tidak bersifat sektarian.



Inilah salah satu bentuk manifestasi dari identitas Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid. Muhammadiyah berusaha untuk mengembalikan ajaran Islam yang murni, seperti yang tertera dalam al-Qur’an dan Hadits, bersih dari segala bid’ah dan khurafat. Oleh karenanya, Muhammadiyah sering disebut sebagai gerakan salafiyah, gerakan ishlah, bahkan gerakan tahdits.
Oleh karena itu, Muhammadiyah memandang bahwa orang bebas untuk memilih madzhab mana pun, atau memilih banyak madzhab sekaligus, atau bahkan tidak bermadzhab sama sekali. Muhammadiyah menyerukan pentingnya untuk kembali pada masa ketika belum timbul madzhab-madzhab.
Bentuk pengamalan agama yang murni merupakan ciri dan karakter Muhammadiyah. Posisi Muhammadiyah terletak pada garis yang tegas, yaitu manifestasi konsep “amar ma’ruf nahi munkar”. Seperti firman Allah yang berbunyi :
$£Jn=sù Nèduä!%y` 4ÓyqB $uZÏG»tƒ$t«Î/ ;M»oYÉit/ (#qä9$s% $tB !#x»yd žwÎ) ֍ósÅ ZŽtIøÿB $tBur $uZ÷èÏJy #x»ygÎ/ þÎû $uZͬ!$t/#uä tûüÏ9¨rF{$# ÇÌÏÈ  
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (Q.S Al-Qashash:36)
Konsep “amar ma’ruf” tercermin dari gerakan “kembali pada al-Qur’an dan Sunnah”, sedangkan “nahi munkar” terlihat pada penentangannya terhadap segala bentuk bid’ah, taklid, khurafat, dan sebagainya. Meski posisi semacam ini telah berakar kuat pada tradisi madzhab Hambali sebagai aliran fiqih maupun teologi, namun tidak tepat untuk menyebut Muhammadiyah sebagai bermadzhab Hambali.


c.    Pandangan Muhammadiyah terhadap Tasawuf
Tasawuf merupakan salah satu aspek (esoteris) Islam, sebagai perwujudan dari ihsan yang berarti kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung seorang hamba dengan Tuhan-Nya. Esensi tasawuf sebenarnya telah ada sejak masa kehidupan Rasulullah Saw, namun tasawuf sebagai ilmu keislaman adalah hasil kebudayaan Islam sebagaimana ilmu-ilmu keislaman lainnya seperti fiqih dan ilmu tauhid. Pada masa Rasulullah belum dikenal istilah tasawuf, yang dikenal pada waktu itu hanyalah sebutan sahabat Nabi.
Tasawuf dapat pula disebut mistisme Islam atau asketisme Islam. Dalam dunia tasawuf, manusia belajar bersikap baik dan terbaik dalam pandangan manusia dan Tuhan. Nilai-nilai tasawuf tercermin dari keikhlasan, akhlaq, etika, moral, dan sebagainya. Usaha-usaha yang dilakukan oleh pengamal tasawuf periode pertama bermula dari sekelompok zahid dan abid di serambi masjid Madinah di zaman Nabi. Inilah bibit awal munculnya sufisme.
Pada masa selanjutnya, asketisme kemudian beralih menjadi sufisme yang ditandai dengan pergantian sebutan zahid menjadi sufi. Dalam masa ini, muncul konsep tentang jenjang (al-maqamat) perjalanan yang harus ditempuh seorang sufi, ma’rifat, dan perangkat metodenya hingga pada derajat fana’ dan ittihad.
Pada fase selanjutnya, perkembangan tasawuf atau sufisme ditandai dengan mulainya unsur-unsur luar Islam yang berakulturasi bahkan sinkretis dengan ajaran sufisme. Pada masa ini, muncul ketegangan antara penganut sufi ortodoks dengan penganut sufi heterodoks, Pada tahap selanjutnya, sufisme dimasuki unsur-unsur filsafat, terutama neo-Platonik. Hal ini melatarbelakangi gerakan Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah pada abad VIII Hijriah untuk menentang ajaran-ajaran sufisme yang bertentangan dengan syariat.[7]

Dalam posisi ini, Muhammadiyah mengambil sikap untuk membersihkan sufisme Islam dari pengaruh filsafat yang bertentangan dengan syariat. Hal ini segaris dengan apa yang diperjuangkan oleh tokoh pembaharu Islam tersebut, yakni Ibnu Taimiyah dan  Ibnu Qayyim al-Jauziah. Bahkan demikianlah ajaran Muhammadiyah, memurnikan syariat Islam, baik dalam bidang aqidah, fiqih, tasawuf, dan sebagainya dari unsur-unsur kesyirikan, bid’ah, khurafat, dan semisalnya.
Dalam pemahamannya terhadap aspek asketisme dalam Islam,  Muhammadiyah mengambil sikap yang murni dan moderat. Muhammadiyah memandang bahwa segala sesuatu harus disandarkan pada Al-Qur’an dan Hadits. Pengamalan nilai-nilai tasawuf tidak harus diwujudkan dalam organisasi tarekat tertentu. Tasawuf adalah pengembangan dari konsep ihsan dalam Islam. Ia berhubungan dengan akhlak, etika, dan moral manusia kepada Tuhan dan sesama. Untuk itu, Muhammadiyah memandang dirinya cukup pengalaman nilai-nilai spiritual dan tasawuf sebagai implementasi ajaran Islam yang hakiki, tanpa harus mengorganisasikan diri ke dalam perkumpulan-perkumpulan tertentu.
Berangkat dari pandangan di atas, dapat dikatakan bahwa Muhammadiyah cenderung pada pengamalan tasawuf akhlaqi, yakni konsep pembersihan diri melalui takhali, menghiasi dengan sifat-sifat terpuji melalui tahalli, sehingga mendapatkan anugrah Tuhan dengan tajalli.

d.   Pandangan Muhammadiyah terhadap Filsafat
Pengaruh filsafat dalam sejarah dunia Islam turut mendorong kemajuan Islam pada zaman kekhalifahan al-Ma'mun dari Dinasti Abbasiyah, mencapai puncak kejayaannya dalam bidang ilmu pengetahuan dan peradaban. Lalu seiring meredupnya filsafat, dunia Islam dipengaruhi oleh tasawuf dan masuk pada zaman kegelapan.[8]
Dari sinilah Islam menjadi sebuah bangsa yang terbelakang dan tertinggal sampai hari ini. Jika ingin mengembalikan masa kejayaan Islam, maka kita harus kembali mengambil manfaat dari filsafat untuk mencerdaskan cara berfikir kaum muslimin dengan tetap berpegang teguh kepada Al-Qur'an dan Hadits Shoheh. Tasawuf adalah sikap keagamaan yang mengutamakan spiritualitas.
Dalam sejarahnya, ada ajaran dan praktek tasawuf yang sesuai dengan ajaran Islam, misalnya tasawuf yang mengutamakan akhlak yang mulai. Tetapi banyak juga yang menyimpang, misalnya tasawuf yang mengkultuskan sesama manusia dan mengabaikan syari'at Islam.
Dalam perkembangannya, tasawuf ini berubah menjadi tarekat yang mempunyai amalan sendiri, keyakinan sendiri dan tata hubungan antarmanusia sendiri yang seringkali tidak ada contohnya dari Rasulullah saw. Karena itu, Muhammadiyah tidak mengikuti tarekat, seperti halnya Rasulullah saw juga tidak mengajarkan, apalagi mengikuti tarekat. Karena itu, sikap Muhammadiyah terhadap kemunculan filsafat dan tasawuf, sepanjang mendorong kemajuan peradaban Islam maka akan diakomodir.















BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
    Segala bentuk perjuangan membutuhkan kerja keras dan usaha yang nyata dalam mewujudkannya. Muhammadiyah yang bercita-cita memurnikan ajaran Islam dari pengaruh bid’ah, syirik, dan khurafat, juga mendapatkan tantangan yang cukup keras. Hal ini adalah hal yang biasa ditemui dari suatu gerakan “sempalan” yang berbeda dari mayoritas masyarakat yang belum siap menerima pembaharuan dan modernisasi.
 Pemikiran Muhammadiyah, baik dalam bidang Firqah, Madzhab, Tasawuf dan Filsafat pada intinya adalah mengembalikan masyarakat pada ajaran tauhid dan implementasi kongkretnya. Bentuk-bentuk aktualisasi dari pemikiran tersebut menjadi amal usaha nyata yang dapat dirasakan oleh masyarakat secara umum. Usaha-usaha pembersihan aqidah dari unsur-unsur syirik dan lainnya menjadikan Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan salafiyah, gerakan reformasi, modernisasi, tajdid, dan gerakan ishlah bahkan tahdits.

B.       Saran
Sebagai gerakan pembaharuan, Muhammadiyah seharusnya mengambil bentuk sebagai organisasi dengan tata kerja modern, yang memadukan antara pandangan teologinya dengan realitas di lapangan. Normativitas Al-Qur’an dan Hadits sebagai acuan utamanya diaktualisasikan melalui bentuk-bentuk amal usaha nyata yang memberi manfaat langsung pada masyarakat. Hal ini terlihat dari kiprah Muhammadiyah di Indonesia, sejak kelahirannya sampai sekarang, telah memberi andil yang cukup besar bagi pemanfaatan sumber daya dan pembangunan nasional.


DAFTAR PUSTAKA

Kelompok Studi Lingkaran, Intelektualisme Muhammadiyah; Menyongsong Era Baru, Mizan, Bandung, 1995.
Lubis, Arbiyah, Muhammadiyah dan Muhammad Abduh: Studi Perbandingan, Bulan Bintang, Jakarta, 1989.
M. Rusli Karim (Ed.), Muhammadiyah dalam Kritik dan Komentar, CV. Rajawali, Cet. I, Jakarta, 1986.
Nurhadiantomo, dkk, (Peny.), Muhammadiyah di Penghujung Abad 20, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 1989.
Siregar, A. Rivay, Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000.
Syam, Firdaus, Amin Rais; Politisi yang Merakyat & Intelektual yang Shaleh, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2003.
Syamsuddin, M. Din, (Ed.), Muhammadiyah Kini dan Esok, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1990.
Rudion, Perndidikan Kemuhammadiyahan 2, Metro, 2012












[1] Rudion, Pendidikan Kemuhammadiyahan 2, Metro, 2012. Hlm 1-8
[2] Rudion, Pendidikan Kemuhammadiyahan 2, Metro, 2012. Hlm 11-13
[3] Dr. Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam dan Akhlak, Jakarta, 2011. Hlm 352
[4] Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu, Jakarta, Ribeka Cipta, 2010. Hlm 287
[5] Nurhadiantomo, dkk., Muhammadiyah di Penghujung Abad 20, Surakarta, 1989. Hlm 92             [5] M. Rusli Karim, Muhammadiyah Dalam Kritik dan Komentar, Jakarta, 1986. Hlm 103


[7] Siregar A. Rivay, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-sufisme, Jakarta, 2000. Hlm 78-80
[8] Nurhadiantomo, dkk., Muhammadiyah di Penghujung Abad 20, Surakarta, 1989. Hlm 36